Mengevaluasi Perang Melawan Penjajahan Kolonialisme Hindia-Belanda



MAKALAH
Mengevaluasi perang melawan penjajahan kolonial Hindia Belanda

















Disusun Oleh :
                                 - Salma Salsabila
                                                  - Muhammad Nurpani Seha
                                                                                      - Rangga Aditia
                              - Naeli Paujiah


MA SITI KHADIJAH SINDANGWANGI MAJALENGKA
2015/2016

KATA PENGANTAR

            Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberkahi kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
            Makalah ini memuat tentang “Mengevaluasi Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda” dan sengaja dipilih karena kita dapat mengambil nilai-nilai kejuangan tokoh pendahulu serta jalannya perlawanan tokoh pejuang melawan kolonialisme. Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan makalah ini yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat kami analisa dengan sempurna dalam karya tulis ini. Kami melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki.
            Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat.
























Majalengka, 21 November 2016


Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar....................................................................................................... 1
Daftar isi.................................................................................................................2
Bab I Pendahuluan
A.Latar belakang....................................................................................................3
B.Rumusan masalah...............................................................................................3
Bab II Pembahasan
Mengevaluasi perang melawan penjajahan kolonial Hindi Belanda
A.Perang Tondano…………………....…..............................................................4
B.Patimurra Angkat Senjata...................................................................................5
C.Perang Padri........................................................................................................6
D.Perang Diponegoro.............................................................................................8
Bab IV Penutup
Kesimpulan ..........................................................................................................14
Daftar pustaka…………………………...…………………………….…....…..15



















BAB I
 PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Perang yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 dan awal 20 merupaakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Hindia – Belanda. Pemerintah kolonial belanda tetap menjalankan taktik perang yang licik dan kejam. Tipu daya pura-pura mengajak damai, mengadu domba dan menangkapi anggota keluarga pimpinan perang terus dilanjutkan.
B.        RUMUSAN MASALAH
1)      Bagaimana Perang Tondano terjadi?
2)      Bagaimana perlawanan dari Pattimura?
3)      Bagaimana Perang Padri terjadi?
4)      Bagaimana Perang Diponegoro terjadi?


























BAB II
PEMBAHASAN
A.   PERANG TONDANO
1.     Perang Tondano I
            Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa barat orang-orang Spanyol sudah sampai di Tondano (Minahasa, Sulawesi Utara). Orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Kristen dengan tokohnya Franciscus Xaverius. Ubngan mengalami perkembangan tatapi pada abad ke-17 hubungan dagang mereka terganggu dengan munculnya VOC. Pada waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Guberbur Ternate Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawai pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga pedagang Makasar bebas berdagang mulai tersingkir oleh VOC. Apalagi Spanyol harus meninggalkan Indonesia menuju Filipina.
            VOC berusaha memaksakan orang-orang Minahasa untuk monopoli berusaha di Sulawesi Utara. Orang Minahasa kemudian menentang usaha tersebut maka VOC berupaya untuk memerangi orang minahasa dengan membendung Sungai Temberan. Akibatnya tempat tinggal tergenang dan kemudian tempat tinggal di danau Tondano dengan rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung orang Minahasa di Danau Tondano. Simon Cos mengeluarkan ultimatum yang berisi 1) orang Tondano harus menyerahkan tokoh pemberontak kepada VOC 2) orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 nbudak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi. Simon Cos kecewa karena ultimatum tidak diindahkan .Pasukan VOC kemudian dipindahkan ke Manado. Setelah itu rakayat Tondano menghadapi masalah dengan hasil panen yang menumpuk tidak laku terjual kepada VOC. Dengan terpaksa kemudian mereka mendekaati VOC, maka terbukalah tanah Tondano bagi VOC. Berakhirlah perang Tondano I. Orang Tondano memindahkan perkampungannya kedataran baru yang bernama Minawanua (ibu negeri)

2.       Perang Tondano II
            Perang Tondano II terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada abad ke-19, yakni pada masa kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakanGubernur Jenderal Daendels. Deandels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi . Mareka yang dipilih adalah suku-suku yang memiliki keberanian adalah orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Deandels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung (pemimpin walak atau daerah setingkat distrik). dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan di kirim ke jawa. Ternyata orang-orang Minahasa tidak setuju dengan program Deandels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Kemudian para ukung bertekad untuk mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano Minahasa.

            Dalam suasana Gubernur Prediger untuk meyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua, dengan cara membendung Sungai Temberan dan membentuk dua pasukan tangguh. Tanggal 23 Oktober 1808 Belanda berhasil menyerang orang-orang Minahasa. Tanggal 24 Oktober 1808 Belanda menguasai Tondano dan mengendorkan serangan tetapi kemudian orang-orang Tondano muncul dengan melakukan serangan.
            Perang Tondano Ii berlasung lama sampai Agusttus 1809.dalam suasana kepenatan banyak kelompok pejuang kemudian memihak Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuanga Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya tanggal 4-5 Agustus 1809 benteng pertahanan Moraya hancur bersama para pejuang. Mereka memilih mati daripada menyerah.

B.     Pattimura Angkat Senjata
           Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
            Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.
            Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
            Perlawanan Pattimura (1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda adalah :
1)      Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
2)      Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
3)      Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
            Akibat penderitaan yang panjang rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.

C.    Perang Padri
            Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatra Barat tahun 1821-1827 perang ini terjadi karena adanya pertentangan antara kaum padri dengan kaum adat , pertentangan tersebut telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan belanda, di sana terdapat tiga orang ulama yaitu H.miskin,H.sumanik, dan H.piabang. ulama tersebut di senut orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian di minangkabau dengan nama kaum padri.
            Tahun 1821 pemerintah hindia belanda mengangkat james du pui sebagai residen minangkabau pada masa itu dia mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh adat. Dengan perjanjian ini beberapa daerah kemudian di duduki oleh belanda. Perang padri meletus karena masa itu belanda menempatkan dua meriang dan 100 orang serdadu belanda yng di tentang keras.
1.      Fase Pertama(1821-1825)
            Di mulai bulan september 1821 pos pos Simawang menjadi sasaran serbuan Kaum Padri. Kemudian tuanku pasangan mengerakkan sekitar 20.000-25.000 pasukan. Pasukan padri masa itu masih menggunakan senjata tradisionl sedangkan pasukan belanda menggunakan persenjataan yang lengkap dan modern. Di pihak keduanya banyak kehilangan pasukan.belanda mendirikan benteng di batu sangkar yng terkenal dengan sebutan front van der Capellen. Perlawanan tersebut muncul di berbagai tempat namun dengan memusatkan perjuangan di lintau dan tuanku nan renceh menjadi pemimpin. September 1822 kaum padri berhasil mengusir belanda dan 1823 pasukan padri berhasil mengalahkan belanda kemudian belanda mengambil strategi damai, 26 januari 1824. Perdamaian terseut di manfaatkn kaum padri untuk menduduki daerah-daerah lain, namun belanda menolak. Dan itu menimbulkan amarah kaum padri. Kemudian tuanku imam bonjol menggerakkan kembali semangat melawan belanda.
2.      Fase kedua (1825-1830)
            Pada tahun 1825-1830 di gunakan belanda untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam perang padri. Upaya damai di usahakan sekuat tenaga. Kolonel de Stuers penguasa sipil militer di Sumatra Barat berusaha mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh kaum padri, namun tidak dihiraukan. Belanda dengan kelicikannya kemudian belanda meminta bantuan Sulaiman al Jufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka kaum padri. Imam bonjol menolak tapi Tuanku Lintau menerima hali ini juga di dukung Tuanku Nan Renceh. Tangal 15 november 1825 ada perjanjian padang yang berisi
1)      Belanda mengakui kekuasaan pemimpin padri di Batu Sangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukit Tinggi dan menjamin pelaksanan sistem agama di daerahnya
2)      Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
3)      Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan
4)      Secara bertahap belanda akan melarang praktik adu ayam.
3.      Fase ketiga(1830-1837/1838)
            Pada fase ini kaum padri mendapatkan simpati dari kaum adat yang menyebabkan kekuatan para pejuangdi sumatra barat meningkat. Kaum padri dari bukit kamang berhasil memutuskan saran komunikasi belanda di tanjung alam dan bukit tinggi. Tindakan itu di jadikan gillavry untuk menyerang koto tuo di ampek angkek. Tahun 1831 gillavry di gantikan oleh jacob elout yang mendapat pesan dari jenderal van den bosh melaksanakan serangan besar-besaran.
            Enout setelah menguasai batipuh ditujukan ke benteng marapalam. Dengan bantuan dua orang padri yang berkhianat pada tahun 1831 agustus belanda berhasil menguasai benteng marapalam. Dengan begitu beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.
            Tahun 1832 belanda meningkatkan ofensif pada kekuatan kaum Padri. Pada tahun 1833 kekuatan belanda sudah begitu besar. Belanda melakukan penyerangan pada pos pos pertahanan kaum padri.banuhampu, kamang, guguk sigandang, tanjung alam, sungai kuar, candung dan nagari di agam. Penyerangan guguk sigandang merupakan catatan hitam dengan penyembelihan dan penyincangan terhadap tokoh-tokoh kaum padri sekaligus mereka yang dicurigai sebagai pendukung padri. Penyerbuan kamang mendapat perlawanan sengit namun berhasil dimenangkan belanda, dalam penyerbuan itu banyak korban dan ditangkapnya tuanku nan cerdik.
            Van den Bosch menerapkan strategi winning the heart pada masyarakat pajak pasar dan pajak lain. dan pajak lain di hapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan diberi gaji 25-30 golden, para kuli juga diberi gaji 50 sen perhari. Elout digantikan oleh E. Francis kemudian dikeluarkan plakat panjang. Plakat panjang yaitu pernyataan yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara belanda dan kaum padri. Setelah pasukan tuanku nan cerdi dapat dihancurkan kemudian digantikan oleh tuanku imam bonjol. Tahun 1834 belanda memusatkan menyerang pasukan imam bonjol. Tanggal 16 juni 1835 benteng bonjol dihujani meriam. Tahun 1835 agustus benteng perbukitan dekat bonjol di kuasai belanda. Pada saat itu imam bonjol ingin berdamai tapi belanda tidak memberi jawaban justru semakin ketat mengepung pertahanan di bonjol.tahun 1836 benteng bonjol dapat di pertahankan tetapi satu persatu pemimpin padri di tangkap yang kemudian melemahkan pertahanan pasukan padri.bulan oktober 1837 belanda mengepung benteng bonjol. Tanggal 25 oktober 1837 imam bonjol di tangkap di buang ke cianjur jawa barat, Tanggal 19 januari 1839 ia di buang ke ambon, dan tahun1841 di pindah ke manado dan meninggal pada tanggal 6 november 1864.
D.    Perang Diponegoro
            Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras. Dominasi pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai objek pemerasan, sehingga semakin menderita. Pada waktu itu pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah sawah untuk kepentingan perusahaan. Pada umumnya tanah itu disewa dengan penduduknya sekaligus. Akibatnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidup dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga kerja paksa. Rakyat tetap hidup menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak tanah), (b) pengawang-awang (pajak halaman kekurangan), (c) pecumpling (pajak jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak pindah nama), dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan). Di samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol. Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.
Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih dengan menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro.
  • Bermula dari insiden anjir
            Sejak tahun 1823, Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo dalam rangka membuat jalan baru memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok). Secara sengaja pemasangan anjir ini melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden anjir inilah meletus Perang Diponegoro.
            Kala itu tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di dalem Tegalreja dengan membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, lembing dan lain-lain. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang dan mengepung dalem Tegalreja. Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan. Tegalreja dibumi hangus. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong.
            Pangeran Diponegoro adalah pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat memperhatikan keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum melanjutkan perlawanan Pangeran Diponegoro harus mengungsikan anggota keluarga, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia ke Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali perlawanannya terhadap Belanda Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan di Gua Selarong. Dalam memimpin perang ini Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas baik masyarakat, para punggawa kerajaan dan para bupati. Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
  • Mengatur strategi dari Selarong
            Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah.
1)      Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar.
2)      Mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda.
3)      Menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan.
4)      Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan mengangkat para pemimpinnya.
            Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16 mandala perang, misalnya: Yogyakarta dan sekitarnya di bawah komando Pangeran Adinegoro (adik Diponegoro) diangkat sebagai patih dengan gelar Suryenglogo. Bagelen diserahkan kepada Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo. Perlawanan di daerah Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko. Bahkan di daerah Kedu Pangeran Diponegoro juga mengutus Kiai Hasan Besari mengobarkan Perang Sabil untuk memperkuat pasukan yang telah ada. Pangeran Abubakar didampingi Pangeran Muhammad memimpin perlawanan di Lowanu. Perlawanan di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan Pangeran Somonegoro. Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat, dan Suronegoro. Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. Daerah Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Daerah Pajang diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, dan daerah Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro. Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo. Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh Pangeran Serang.
            Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya R.A. Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan Belanda.
            Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro mengembangkan semangat “Perang Sabil”, perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat kota dapat dikuasai. Gerakan pasukan Pangeran Diponegoro bergerak ke timur dan dapat menaklukan Delanggu dalam rangka menguasai Surakarta namun, pasukan Pangeran Diponegoro dapat ditahan oleh pasukan Belanda di Gowok. Secara umum dapat dikatakan pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan banyak kemenangan. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh kedudukan Pangeran Diponegoro, oleh para ulama dan pengikutnya ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar: Sultan Abdulhamid Herucokro (Sultan Ngabdulkamid Erucokro)
  • Perluasan perang di berbagai daerah
            Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke Madiun, Magetan, terus Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro telah mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan dan para ulama bergerak untuk melawan kekejaman Belanda.
            Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim ke berbagai daerah pertempuran. Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.
            Belanda berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro. Sasaran pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran Diponegoro di Gua Selarong. Tanggal 4 Oktober 1825 pasukan Belanda menyerang pos tersebut. Tetapi ternyata pos Gua Selarong sudah kosong. Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro. Pos pertahanan Diponegoro sudah dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian barat (Kulo Progo dan sekitarnya). Sementara itu di Gunung Kidul pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan berbagai kemenangan. Benteng pertahanan Belanda di Prambanan juga berhasil diserang oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung Suronegoro. Plered sebagai pos pertahanan Diponegoro juga sering mendapat serangan Belanda. Namun dapat dipertahankan oleh pasukan Diponegoro di bawah Kertopengalasan.Seperti telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari para bupati di mancanegara (istilah mancanegara untuk menyebut daerah-daerah yang umumnya sekarang di luar Yogyakarta). Misalnya terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara Karesidenan Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus melakukan perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun, Magetan, Kertosono, Ngawi, dan Sukowati. Sementara mancanegara bagian barat meluas di wilayah Bagelen, Magelang dan daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.
  • Benteng Stelsel pembawa petaka
            Perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas. Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain, Jenderal de Kock kemudian menerapkan strategi dengan sistem “Benteng Stelsel” atau “Stelsel Benteng”.
            Dengan strategi “Benteng Stelsel” sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda, misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang. Masing-masing tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Di samping itu Magelang dijadikan pusat kekuatan militer Belanda.
            Dengan sistem “Benteng Stelsel” ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap. Tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di Banyumeneng harus bertahan dari serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi. Namun perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 1828. Sementara itu pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon Progo sekarang). Dalam penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen. Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian para pemimpin tempur Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain:
1)      Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam
2)      Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai komandannya
3)      Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban
            Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
            Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro mau berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.






































BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Perang yang terjadi pada abad ke – 18 dan 19 dan awal 20 merupakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
            Pemerintah kolonial Belanda tetap menjalankan taktik perang yang licik dan kejam. Tipu daya pura-pura mengajak damai, mengadu domba dan menangkap anggota keluarga pimpinan perang Indonesia terus dilakukan.
            Perang melawan penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda memang belum berhasil, tetapi semangat juang rakyat dan para pemimpin perang kita tidak akan pernah padam. Kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Indonesia harus terus diperjuangkan agar bebas dari penjajahan. Penjajahan pada hakikatnya selalu kejam, menangnya sendiri, serakah, tidak memperhatikan penderitaan orang lain. Penjajahan senantiasa bertentngan dengan harkat dan hak sasi manusia.
            Banyak nilai-nilai keteladanan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya semangat cinta tanah air, rela berkorban, kebersamaan, kerja keras pantang menyerah engan berbagai tantangan, sehingga dapat memotivasi kita untuk bekerja keras dan giat belajar.






















DAFTAR PUSTAKA



Buku LKS STAR ' sejarah indonesia' Kurikulum 2013 semester ganjil 

Comments

Popular posts from this blog

Administrasi Dalam Islam

Aliran Ilmu Kalam Dan Penerapannya Dalam Mempertahankan Aqidah