Aliran Ilmu Kalam Dan Penerapannya Dalam Mempertahankan Aqidah
MAKALAH
ILMU KALAM
Guna memenuhi tugas mata pelajaran Akidah Akhlaq
Disusun
oleh :
- Siti
Maryani
- Shifa Azis Alsa’ad
- Yusup Supriyatna
- Abdul Rohman
Kelompok : IV
MA SITI KHADIJAH
SINDANGWANGI MAJALENGKA
20016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Dalam menunjukkan dalil, Al-Qur’an
selalu menggugah fitrah manusia atau seluruhnya memperhatikannya struktur alam
dengan segala keindahannya, di mana alam ini merupakan dalil tentang wujud
Allah.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang
ditunjukan kepada setiap orang baik, orang awam maupun orang cendekiawan. Orang
awam disuruh melihat dan memperhatikan alam untuk menilai kebesaran Allah. Para
cendikiawan menyelidiki, menilai dengan seksama, akhirnya mereka beriman kepada
Allah. Al-Qur’an memang bukan kitab filsafat, sebab ia tidak hanya
diperuntukkan kepada ahli-ahli filsafat dan ahli mantiq saja. Karena kalau
demikian, maka Al-Qur’an itu tidak akan difahami oleh orang awam.
Para mutakallimin mempunyai cirri khusus dalam membahas ilmu kalam, yang berbeda dengan ulama’-ulama’ yang lain. Ahmed Ameen menerangkan demikian.“Sesungguhnya mutakallimin itu mempunyai system tersendiri di dalam membahas, menetapakan, dan berdalil. Berbeda dengan system Al-Qur’an dan hadits serta fatwa-fatwa sahabat. Dari segi lain, berbeda dengan system falsafat dalam membahas, menetapkan dan berdalil. System mereka berbeda dengan system orang-orang sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu akan kami jelaskan secara singkat. Adapaun perbedaan mereka dengan system Al-Qur’an ialah karena Al-Qur’an itu mendasarkan seruannya, berpegang pada fitrah manusia. Hampir setiap manusia, dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan, Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya sepakat terhadap hal tersebut, sekalipun berbeda menamakan Tuhan itu dan menyebutkan sifat-sifat –Nya”.
Para mutakallimin mempunyai cirri khusus dalam membahas ilmu kalam, yang berbeda dengan ulama’-ulama’ yang lain. Ahmed Ameen menerangkan demikian.“Sesungguhnya mutakallimin itu mempunyai system tersendiri di dalam membahas, menetapakan, dan berdalil. Berbeda dengan system Al-Qur’an dan hadits serta fatwa-fatwa sahabat. Dari segi lain, berbeda dengan system falsafat dalam membahas, menetapkan dan berdalil. System mereka berbeda dengan system orang-orang sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu akan kami jelaskan secara singkat. Adapaun perbedaan mereka dengan system Al-Qur’an ialah karena Al-Qur’an itu mendasarkan seruannya, berpegang pada fitrah manusia. Hampir setiap manusia, dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan, Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya sepakat terhadap hal tersebut, sekalipun berbeda menamakan Tuhan itu dan menyebutkan sifat-sifat –Nya”.
Teologi, sebagaimana diketahui
membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang ingin menyelami
seluk-beluk agamanya masing-masing secara mendalam. Mempelajari teologi akan
memberikan seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat,
yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman. Ilmu kalam merupakan
salah satu ilmu Islam. Yang dibahas adalah iman dan akidah Islam yang perlu
dipeluk oleh seorang Muslim. Ulama membagi ilmu islam menjadi tiga bagian yaitu
dokrin, moral, dan hukum. Dokrin atau akidah merupakan topik-topik yang
dimengerti dan diimani, seperti keesaan Allah, sifat-sifat Allah, kenabian yang
sifatnya universal dan terbatas, dan seterusnya. Namun ada perbedaan tertentu
di kalangan mazhab seperti pa yang merupakan rukun imam. Ilmu kalam termasuk
ilmu Islam yang membahas tentang dokrin atau aqidah.
Teologi dalam Islam juga `ilm al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau keesaan dalam pandangan Islam, sebagaimana agama monoteisme, merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut `ilm al-kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut `ilm al-kalam, sabda Tuhan atau al-Qur`an yang pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim.
Kalau yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut `ilm al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memainkan kata-kata.
Teologi dalam Islam juga `ilm al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau keesaan dalam pandangan Islam, sebagaimana agama monoteisme, merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut `ilm al-kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut `ilm al-kalam, sabda Tuhan atau al-Qur`an yang pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim.
Kalau yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut `ilm al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memainkan kata-kata.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana ilmu kalam mempertahankan aqidah
2.
Aliran-Aliran Ilmu Kalam Yang Berkembang Pada Saat Ini.
C. Tujuan
1.Menjelaskan
bagaimana ilmu kalam mempertahankan aqidah
2.
Mengetahui aliran-aliran ilmu kalam
D.
Manfaat
1.
Menambah wawasan bagi penyusun mengenai ilmu kalam secara luas.
2.
Mendalami tentang ilmu kalam dari berbagai sudut pandang, sesuai sumber –
sumber yang kami dapatkan mengenai ilmu
kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penerapan Ilmu Kalam Dalam Mempertahankan Aqidah
Menurut Ibnu Khaldun bahwa Ilmu
kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf
dan ahli sunah.
Sebagaimana diketahui bahwa dasar pokok utama dalam Islam adalah aqidah atau keyakinan secara etimologik, aqidah berarti credo, keyakinan hidup, dan secara khusus aqidah berarti kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Menurut Arifin Zainal Dzamaris, aqidah istilah suatu yang dianut oleh manusia dan diyakini apakah berwujud agama atau lainnya.
Aqidah Islam berawal dari keyakinan kepada zat mutlak yang Maha Esa yang disebut Allah. Allah Maha Esa dalam zat, sifat, perbuatan dan wujudnya. Kemaha-Esaan Allah dalam zat, sifat, perbuatan dan wujdunya itu disebut tauhid. Tauhid menjadi inti rukun iman.
Sebagaimana diketahui bahwa dasar pokok utama dalam Islam adalah aqidah atau keyakinan secara etimologik, aqidah berarti credo, keyakinan hidup, dan secara khusus aqidah berarti kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Menurut Arifin Zainal Dzamaris, aqidah istilah suatu yang dianut oleh manusia dan diyakini apakah berwujud agama atau lainnya.
Aqidah Islam berawal dari keyakinan kepada zat mutlak yang Maha Esa yang disebut Allah. Allah Maha Esa dalam zat, sifat, perbuatan dan wujudnya. Kemaha-Esaan Allah dalam zat, sifat, perbuatan dan wujdunya itu disebut tauhid. Tauhid menjadi inti rukun iman.
Penerapan ilmu kalam, dimana ilmu
kalam membahas tentang perTuhanan, keyakinan pastinya berkenaan dengan aqidah.Pembahasan
keTuhanan dan sebagainya dalam ilmu kalam, akan merembet pada aqidah, misalnya
arkan Al Iman, membahas tentang keimanan yang juga berkaitan dengan bagaimana
ilmu kalam di bahas untuk tetapmempertahankan aqidah walau lewat saling
melempar argumen – argumen.
Obyek materi pembahasan mengenai
aqidah pada umumnya adalah Arkan Al-Iman, yaitu:
1. Iman kepada Allah swt.
1. Iman kepada Allah swt.
2.
Uman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti
Jin, iblis dan syaitan).
3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
4.
Iman kepada Rasul Allah.
5.
Iman kepada hari akhir.
6.
Iman kepada taqdir Allah.
a. Aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran
khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam.
Hal ini di dukung oleh watak kerasnya akibat letak geografis, juga di bangun
atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Quran dan Hadist. Tak heran kalau
aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar.
Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah
kafir, berdasarkan firman Allah surah Al-Maidah ayat 44
Semua pelaku dosa besar menurut subsekte Khawarij adalah
sebagai berikut
1. Khawarij Azariqah. Mereka
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir yaitu musyrik. Pelaku dosa
besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir
millah (agama), dan itu berarti dia telah keluar dari islam (musyrik). Mereka
kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. Kafir yang di maksud oleh
Azariqah disini adalah semua orang islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Bahkan orang islam yang sepaham dengan
mereka, tetapi tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga di
pandang kafir bahkan musyrik.
2. Khawarij Najdah. Pelaku dosa besar
dianggap musyrik oleh khawarij Najdah, jika pelaku tersebut secara continue
melakukan dosa kecil. Namun apabila dosa besar tersebut tidak dikerjakan secara
continue, maka pelakunya tidak dianggap musyrik tetapi hanya kafir. Kafir yang
dimaksud oleh Najdah adalah mereka orang islam yang tidak sepaham dengan
golonganya. Dan pengikutnya jika
mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tapi pada akhirnya
akan masuk surga juga.
3. Khawarij Al-Muhakimat, semua orang
yang menyetujui arbitrase (tahkim) adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum
kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa
besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar
lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari islam.
4. Khawarij As-Sufriah, membagi dosa
besar dalam dua bagian. Yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh,
mencuri dan berzina, dan dosa yang di dunia tidak ada sanksinya, seperti
meniggalkan sholat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama tidak
dianggap kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang
kafir.
Golongan khawarij berpendapat bahwa
mengerjakan perintah-perintah agama seperti puasa, sholat, jujur, adil dan
perbuatan baik lainnya menjadi bagian dari iman. Di karenakan menurut golongan
ini, iman bukan hanya sekedar kepercayaan saja, demikian halnya jika kita percaya
kepada Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya, kemudian tidak mengerjakan
kewajiban-kewajiban agama apalagi mengerjakan dosa besar maka ia menjadi kafir.
b. Aliaran Murjiah
Pandangan aliran Murjiah tentang
status pelaku dosa besar, dapat di telusuri dari definisi iman yang di rumuskan
oleh mereka. Tiap-tiap sekte Murjiah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi
iman itu, sehingga pandangan tiap sekte tentang status pelaku dosa besarpun
berbeda-beda pula. Harun nasution berpendapat sebagai berikut
1. Murjiah yang ekstrim, mereka yang berpandangan bahwa
keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya
merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu,segala
ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak
menggeser atau merusak keimananya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata
Tuhan. Murjiah yang berpendapat diatas diantaranya adalah, Al-Jamiiyah,
Al-Solihiyah, Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq (membenarkan)
secara kalbu saja, atau dengan kata lain, mengetahui Allah dengan kalbu; bukan
secara demonstratif, baik ucapan maupun tindakan.oleh karena itu jika seseorang
telah beriman dalam hatinya,ia dipandang tetap sebagai orang mukmin sekalipun
menampakkan tingkah laku seperti yahudi atau nasrani. Menurut mereka iqrar dan
amal bukan bagian dari iman. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, murjiah ekstrim
memandang pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir sehingga tidak akan disiksa
di neraka.
2. Murjiah moderat, mereka berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun di siksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya,bergantung
pada ukuran dosa yang di lakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya, sehingga ia terbebas dari neraka. Murjiah yang berpendapat
ini adalah, Abu Hanifah dan pengikutnya
Golongan Murjiah mengatakan bahwa
iman hanyalah kepercayaan hati semata-mata, dan amalan lahir tidak menjadi
bagian dari iman. Orang yang mengerjakan dosa besar tidak mengeluarkannya dari
lingkungan iman (tidak dianggap kafir). Jadi golongan murjiah membuka pintu
seluas-luasnya. Semboyan golongan murjiah “maksiat tidak berbahaya beserta iman
(tidak membahayakan) sebagaimana ketaatan tidak akan berguna beserta kekafiran”
c. Aliaran Mu’tazilah
Jawaban tentang status pelaku dosa
besar dalam aliran Mu’tazilah dapat di kategorikan menjadi 3, yaitu
1. Sebutan Mu’tazilah
Disebut Mu’tazilah, karena Wasil bin
‘Ata dan ‘Amar bin ‘Ubaid menjauhkan diri (I’tizala) dari pengajian Hasan Basri
di Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya
bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir
lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (tingkatan)
tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut orang mu’tazilah(orang yang
menjauhkan diri-memisahkan diri)
Golongan mu’tazilah menyalahi semua
pendapat yang telah ada, tentang orang
yang mengerjakan dosa besar. Seperti yang dikatakan oleh Murjiah bahwa pembuat
dosa besar masih termasuk mu’min. Menurut golongan khawarij azariqah dia
menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi orang yang munafik.
Datanglah Wasil bin ‘Ata untuk mengatakan pembuat dosa besar bukan mu’min,
bukan pula menjadi kafir, melainkan menjadi fasik.
2. Masalah iman
Menurut
golongan Mu’tazilah semua orang yang terlibat dalam persengketaan kaum muslimin
tetap orang mu’min juga, tidak keluar dari islam, karena soal iman menjadi
pekerjaan hati semata-mata. Kelanjutannya adalah khalifah Umawi tetap menjadi
orang mu’min, meskipun mengerjakan dosa besar, begitu pula lawan-lawannya. Iman
terdiri dari sikap-sikap kebaikan, yang apabila terkumpul pada seseorang, maka
ia akan disebut sebagai orang mu’min sebagai sebutan pujian. Orang fasik tidak
terkumpul pada dirinya sifat-sifat kebaikan dan tidak berhak akan sebutan
pujian, yaitu mu’min. tetapi ia juga bukan orang kafir sama sekali, karena
syahadat dan amalan-amalan baik terdapat padanya dan tidak bisa diingkari.
3. Prinsip
Seorang
muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi menjadi orang
mu’min, juga tidak menjadi orang kafir melainkan fasik. Tingkatan orang fasik
berada dibawah orang mu’min dan diatas orang kafir. Prinsip mu’tazilah di sini
mengambil jalan tengah dalam menghukumi pelaku dosa besar, yang pendapat
golongan ini didasari atas Al-Quran ayat 31 surat Al-Isra’, Hadis
(sebaik-baiknya perkara ialah yang tengah-tengah),kata-kata yang diambil hikmah
dari cendakiawan islam (jadikan kamu dalam dunia ini tengah-tengah).
d. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya
Al-Asy’ari, sebagi wakil Ahl As-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang
sujud ke Baitullah(Ahl Al-Qiblah) walaupun mereka dosa besar, seperti berzina
dan mencuri. Menurutnya mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika
dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan
tidak meyakini keharamannya, ia di pandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi
pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut
Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakn Tuhan. Tuhan dapat saja mengampuni
dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW.
Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya
siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu ia
tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Dapat disimpulkan
bahwa Al-Asy’ari sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murjiah,
khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar.
Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang
berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan
demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia
tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.
e. Aliran maturidiyah
Samarkand ataupun Bukhara sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mu’min karena adanya
keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang di perolehnya kelak di akhirat,
bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal sebelum ia
taubat, maka keputusan sepenuhnya ada pada Allah SWT.
Berkaitan dengan persoalan ini,
Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam al-maturidiah,
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka, walaupun dia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena Allah
telah menjajikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa
syirik. Karena itu perbuatan dosa besar selain syirik, tidaklah menjadi
seseorang kafir atau murtad. Menurut al-maturidi iman itu cukup dengan tashdiq
dan ikrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak
akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau
mengurangi sifatnya saja
· Masalah iman
Pertama, masalah kewajiban iman kepada
Allah dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada
Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah
berbuat dosa.
Kedua, masalah keterjagaan para nabi dari
perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik
itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi
terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan
yang menyebabkan dosa kecil.
BAB
III
PENUTUP
A.
KesimpulanIlmu kalam merupakan salah satu ilmu islam, yang dibahas adalah iman dan akidah islam yang perlu di peluk oleh seorang muslim. Ilmu kalam bisa disebut dengan beberapa nama,antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi islam. Ilmu kalam merupakan sebuah ilmu yang mengkaji doktrin – doktrin dasar atau akidah – akidah pokok islam (ushluhuddin). Ilmu kalam mengidentifikasi kidah – akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah – akidah pokok tersebut.
Dalam ilmu – ilmu materi pembahasannya memang pada hakikat merupakan paduan beragam hal atau entitas, maka tak ada kemungkinan terjadinya tumpah tindih masalah.
Dengan adanya aktivitas perumusan dan pengembangan Ilmu Kalam, maka tentu saja akan mampu menjawab kenyataan-kenyataan sosial yang memang sering di pertanyakan orang. Ilmu kalam bisa membantu para muslimin dalam mengerti tentang agama, khususnya ruang lingkup ilmu kalam.
Obyek kajian ilmu kalam
adalah adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Obyek
kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan
segala sesuatu yang ada. Sementara itu obyek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni
upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek obyeknya, ketiga
ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Baik ilmu kalam,
tasawuf, dan filsafat berurusan dengan hal yang sma, yaitu kebenaran.
Ruang lingkup ilmu kalam diantaranya
Ruang lingkup ilmu kalam diantaranya
1. Illahiyat yaitu kajian tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan illah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah,
nama –nama dan sifat Allah, af’al Allah dan lain – lain.
2. Nubuwat yaitu kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuk pembahasan tentang kitab –kitab Allah, mukjizat, karomah, dan lain sebagainya.
3. Ruhuniyat, yaitu kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan alam metafisik
4. Sam’iyat yaitu kajian tentang segala hal yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli / berupa Al Qur’an dan sunnah)
Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat di katagorikan menjadi dua macam, yaitu : kerangka berpikir rasional dan metode berpikir tradisional.
Penerapan ilmu kalam, dimana ilmu kalam membahas tentang perTuhanan, keyakinan pastinya berkenaan dengan aqidah. Karena ilmu kalam juga menggunakan Arkan Al-Iman.
Pembahasan keTuhanan dan sebagainya dalam ilmu kalam, akan merembet pada aqidah, misalnya arkan Al Iman, membahas tentang keimanan yang juga berkaitan dengan bagaimana ilmu kalam di bahas untuk tetapmempertahankan aqidah walau lewat saling melempar argumen – argumen hanyalah untuk mencari kebenaran.
B. Saran
Dari pembahasan makalah ini, kami sebagai penyusun mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Sebagai seorang umat islam yang baik hendaknya kita selalu berpedoman pada kitab suci Al-qur’an dan mempelajarinya dengan baik dan benar.
2. Selagi kita masih diberikan kesempatan, hendaknya kita memperbanyak amal ibadah kita.
2. Nubuwat yaitu kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuk pembahasan tentang kitab –kitab Allah, mukjizat, karomah, dan lain sebagainya.
3. Ruhuniyat, yaitu kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan alam metafisik
4. Sam’iyat yaitu kajian tentang segala hal yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli / berupa Al Qur’an dan sunnah)
Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat di katagorikan menjadi dua macam, yaitu : kerangka berpikir rasional dan metode berpikir tradisional.
Penerapan ilmu kalam, dimana ilmu kalam membahas tentang perTuhanan, keyakinan pastinya berkenaan dengan aqidah. Karena ilmu kalam juga menggunakan Arkan Al-Iman.
Pembahasan keTuhanan dan sebagainya dalam ilmu kalam, akan merembet pada aqidah, misalnya arkan Al Iman, membahas tentang keimanan yang juga berkaitan dengan bagaimana ilmu kalam di bahas untuk tetapmempertahankan aqidah walau lewat saling melempar argumen – argumen hanyalah untuk mencari kebenaran.
B. Saran
Dari pembahasan makalah ini, kami sebagai penyusun mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Sebagai seorang umat islam yang baik hendaknya kita selalu berpedoman pada kitab suci Al-qur’an dan mempelajarinya dengan baik dan benar.
2. Selagi kita masih diberikan kesempatan, hendaknya kita memperbanyak amal ibadah kita.
Tentang status pelaku dosa besar golongan khawarij
menganggap, bahwa orang yang terlibat dalam permasalahan tahkim dianggap kafir,
bahkan kufur atau musyrik. Sedangkan iman bukan hanya sekedar kepercayaan saja,
namun juga harus di amalkan dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban agama.
Golongan Murjiah berpendapat bahwa
keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak menggeser atau merusak
keimananya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.
Golongan Mu’tazilah berpendapat
bahwa status pelaku dosa besar tidak dianggap kafir dan tidak dianggap mu’min.
namun golongan ini menganggap dengan sebutan fasiq
Golongan As’ariyah menghukumi status
pelaku dosa besar tetap mu’min, walaupun dia melakukan dosa besar. Namun jika
dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan
tidak meyakini keharamannya, ia di pandang telah kafir.
Golongan Maturidiah menyatakan bahwa
pelaku dosa besar masih tetap sebagai mu’min karena adanya keimanan dalam
dirinya. Adapun balasan yang di perolehnya kelak di akhirat, bergantung pada
apa yang dilakukannya di dunia.
Comments
Post a Comment